Kamis, 27 Februari 2014

TEKNIK SINGKAT BERDHARMA WACANA

TEKNIK SINGKAT BERDHARMA WACANA*
I. Pengertian dan Tujuan
1.1 Pengertian
            Dharma wacana mengandung arti mewacanakan Dharma ditengah-tengah masyarakat. Kata ini berasal dari bahasa sansekerta wacana yang berkaitan dengan kebenaran atau spiritual. Didalam bahasa latin di kenal dengan istilah oratori. Kegiatan mewacakan Dharma ini di masa lalu di sebut Upanisad. Terminilogi Upanisad atau Upanisada mengandung arti dan sifat yang Rahasyapadesa dan merupakan bagian dari kitab sruti. Pada masa yang lalu ajaran upanisad sering di hubungkan dengan “pawesik” yakni rahasia yang di berikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang sangat terbatas. Dengan istilah Dharma Wacana di maksudkan sebagai methode penerangan Agama Hindu yang di berikan secara umum kepada umat hindu sesuai dengan sifat, tema,  bentuk, jenis  kegiatan keagamaan yang di laksanakan menurut desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).

            Banyak orang yang beranggapan, bahwa kepandaian berdharma wacana adalah masalah bakat dari keturunan artinya kemampuan pendharma wacana itu karena bakat atau minat di samping hobi yang di milikinya. Tanpa adanya bakat atau minat tentu saja akan mengalami kesulitan dalam berdharmawacana, karenaitu mental, fisik dan rohani harus mantap. Ini adalah pendapat yang tidak sepenuhnya benar tetapi tetapi mempengaruhi seseorang pendharma wacana untuk tampil baik dalam menyampaikan, mengutarakan dharma wacananya laksana singa podium nan menawan. Namun sesungguhnya kunci utama bagi seorang pendharma wacana yang baik adalah karena ada kemauan pada dirinya, hal ini tentu diawali dengan kesucian, kemurnian dan kebenaran tanpa melupakan manusianya, metodenya, materinya, bahasanya, situasi dan kondisinya betul-betul dikuasai sehingga tidak ada kesulitan yang berarti bagi pelaksana. Dengan adanya kemauan diri yang kuat untuk dapat untuk dapat berdharma wacana dengan baik, maka yang bersangkutan akan berusaha mengerti, memahami, mendalami seluk beluk masalah dharma wacana sebelum akhirnya di praktekkan. Dengan sikap seperti inilah yang dapat menjadikan seorang laksana singa podium, jika tampil membawakan dharama wacana dengan memperoleh kesuksesan seperti yang di harapkannya.  
1.2 Tujuan
            Dalam melaksanakan suatu kegiatan apapun itu, tentunya mengharapkan sesuatu hasil yang baik dan berguna sehingga tercapai sasaran yang diharapkan, begitupun dalam hal berdharma wacana yang secara langsung berkaitan dengan agama. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa di dunia ini tidak ada mahkluk yang sempurna, tetapi ada usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai kesempurnaan itu, begitupun dalam hal berdharma wacana, adalah suatu usaha yang dilakukan untuk memperoleh kesempurnaan itu, yang dapat mengarahkan manusia kearah kemajuan serta menghindarkan diri dari kebodohan dan kemiskinan ataupun ketidak tahuan dari ajaran Weda, tujuan Dharma wacana itu sesungguhnya adalah tujuan agama Hindu juga yaitu, Moksrtham jagad hita ya caiti Dharma, yaitu memperoleh kebebasan dalam artian bebas dari penderitaan dan penjelmaan. Tujuan lain yang tidak jauh berbeda di jelaskan dalam buku Petunjuk Teknis Pelaksanan Dharma Wacana oleh team penyusun mengatakan bahwa Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan keagamaan  masyarakat Hindu pada khususnya dalam meningkatkan sraddha dan bhakti sebagai pengamalan ajaran agama.
            Dengan demikian salah satu dari tujuan dharma wacana itu sendiri adalah untuk meningkatkan pemahaman keagamaan umat hindu (Sradha dan bhakti) yang di lakukan atau di sampaikan di depan mimbar atau khalayak ramai.
II. Materi Dharma Wacana
Mengenai materi pembinaan dan penyuluhan petugas Dharma Wacana adalah meliputi bidang Tattwa, Susila dan Yajna. Materi-materi tersebut di sesuaikan dengan metode pembinaan masing-masing. Sesungguhnya bahan atau materi Dharma Wacana sukup banyak bisa kita peroleh di Departemen Agama, took buku, tinggal kita kreatif ulet dan tekun mengumpulkan, meyeleksi dan memilah-milah dan susun atau menyusunnya menjadi satu naskah Dharma wacana atau penyuluhan yang baik. Bahan berdharma wacana kita petik dari Catur Weda (Rg Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda). Itihasa, Purana, Bhagawadgita, sarasamuccaya, Manawa Dharmasastra, Brahma Sutra, termasuk yang memungkinkan Lontar-lontar yang masih relepan, semuannya telah ada sesuai dengan kebutuhan. Orator tinggal membaca dan mempelajari semua bahan tersebut dan merangkumnya menjadi satu naskah Dharma wacana atau penyuluhan
III. Dasar-Dasar Dharma Wacana
Di dalam melaksanakan Dharma Wacana terkait beberapa unsur yang tidak bisa di lupakan yakni unsur-unsur sebagai berikut:
-          Manusia (manawan-ya); pendharma wacana dan pendengarnya.
-          Bahasa ( Medium Untuk mewadahi isi dharma wacana)
-          Metode (Cara-cara teknik menyampaian)
-          Materi yang akan di sampaikan
-          Situasi kontekstual
Kelima komponen tersebut sangat penting dan mempengaruhi kadar keberhasilan atau kegagalan dharma wacana yang di sampaikan kepada sasaran yang di tuju. 
3.1 Manusia (Manawa-nya): Pendharma Wacana dan Pendengarnya
3.1.1 Pendharma Wacana
Faktor PDW ini paling menentukan yang menduduki posisi kunci. Seorang PDW harus mempunyai persiapan lahir-battin, fisik dan mental yang mantap sehat dan mempunyai semangat untuk percaya diri dan tegar berdiri di depan pendengar, siapapun pendengar itu. Setiap Pendharma wacana mempunyai bakat yang berlainan, ini tergantung pribadi Pendharma wacana dan pengalaman serta wawasan yang di milikinya. Di dalam hal ini seorang Pendharma wacana ada beberapa  yang perlu  meperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.         Sikap Dan Penampilan
            Sikap dan penampilan Pendharma Wacana sebelum membawakan Wacana didepan umat merupakan hal yang langsung mendapat penilaian, maka dari itu Pendharma Wacana  bersikap mental positiflah itu merupakan usaha untuk memahami, menghayati dan memperaktekkan sikap mental positif menurut Hindu yaitu usaha yang paling tepat ntuk mencegah gaya hidup egoisme, bengis, kejam dan seram, karena itu kita harus mampu mengendalikannya. Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah meliputi:
1. Pakaian
Seorang petugas Dharma Wacana hendaknya masalah pakaian dapat memberikan kesan yang baik kepada audienst. Jika sudah berpakaian rapi dan pantas sesuai dengan etika seseorang pendharma wacana akan menambah harga diri serta menambah kewibawaan. Hindarkan berpakaian yang menyolok dan seksi.
2. Mimik
Hadapi para audient dengan wajah yang berseri-seri dan dengan sikap yang menunjukan rasa senang, dengan demikian audien akan mendapatkan sugesti dan menjadikan suasana segar dan fositif.
3. Gerak/ Akting
Gerak atau acting adalah gaya dari seseorang pembicara. Masalah gerakan adalah hal yang spontanitas dari si pembicara. Oleh sebab itu segala gerak yang di bawakan akan membawa pengaruh besar dalam menghadapi audient. Kurangilah menggunakan telunjuk jari untuk menekankan sesuatu masalah. Telunjuk jari merupakan symbol suatu perintah.
4. Santai
Pergunakan sikap penyajian yang santai. Dalam kontek ini di maksudkan agar petugas Dharma Wacana dalam menyajikan materi tidak tegang, murah senyum, merasakan diri tidak ada jarak antara pembicara dengan audient. Untuk penampilan bisa santai, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan:
      -    Jangan takut
-          Penguasaan materi yang cukup
-          Tenang dan simpati
-          Menguasai keadaan
-          Rasa percaya diri
5. Humor
Seorang pembicara pada moment tertentu perlu menunjukan gerak sikap humor, hal ini sangat bermanfaat untuk melepaskan ketegangan dari para audient. Manfaat lain adalah dapat mengusir kejenuhan dan ngantuk.
6. Menanamkan keyakinan.
  1. Timbulkan kesan pada hati pendengar anda.
  2. Ulangi persoalan-persoalan yang di anggap penting dan perlu di ketahui secara pasti oleh pendengar saat dharma wacana.
  3. Hubungkan pesan (message) dengan masalah yang berkaitan dengan kepentingan pendengar.
7. Pembukaan dan penutup
Suatu Dharma Wacana di katakan berhasil jika mampu menggerakkan dan menumbuhkan support dan partisipasi pendengar dari awal sampai akhir. Untuk menuju keberhasilan petugas Dharma Wacana tampil di depan audient, ada beberapa hal penting yang perlu di perhatikan, antara lain:
  1. Jangan memulai Dharma Wacana dengan suatu permintaan maaf,
  2. Buatlah judul yang menarik
  3. Mulailah dengan pernyataan Iktisar beberapa penting topik yang anda kemukakan dan ada hubungannya dengan kepentingan pendengar,
  4. Tunjukan fakta yang membuat ketegangan di hati pendengar.
  5. Pergunakan ilustrasi yang spesifik
  6. Aturlah intonasi suara anda dengan cara; ubahlah gelombang nada suara anda dari yang tinggi ke yang lebih rendah dan sebaliknya; tempo anda dapat di ubah-ubah dari gelombang lambat dan sebaliknya; berhentilah sejenak kita anda mengucapkan kata atau kalimat penting
3.1.2 Pendengar
Unsur yang ini juga memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan Dharma Wacana. Isi Dharma Wacana harus sesuai dengan keadaan situasi dan profesi pendengar, tingkat pendidikan, usia dan sebagainya sehingga keberhasilan bisa di peroleh. Oleh karena itu, Pendharma Wacana harus mendapat informasi awal terlebih dahulu, apa, siapa, mengapa pendengarnya, pendengar juga sehat fisik dan mental.
3.2 Bahasa
            Dharma Wacana sangat baik apabila di sampaikan melalui ungkapan bahasa yang yang mudah di mengerti, di hayati dan di resapi oleh hadirin. Mampu memukau dan di hindari penggunaan istilah-istilah asing, kecuali belum ada atau belum ada padanya dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang di pergunakan dalam Dharma wacana di samping bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat juga di pakai bahasa daerah setempat. Kedudukan dan peran bahasa sangat penting. Isi dharma wacana yang baik, padat dan berisi bila disampaikan dengan bahasa yang kurang baik tentu akan terjadi kepincangan, pendengar akan merasa bosan. Dalam pemakaian bahasa ini sebenarnya meliputi beberapa unsur yang dapat di bedakan sebagai berikut:
1.      Suara atau vocal yang jelas
2.      Gaya bahasa yang segar dan enak
3.      Kosa kata yang secukupnya di miliki dengan pilihan kata yang tepat
4.      Kalimat yang berfariasi
5.      Tatabahasa yang benar
6.      Irama (intonasi) yang baik, dengan tekanan keras, lemah, tinggi rendah yang sesuai dengan isi 
3.3 Metode Dharma Wacana
Pemaparan metode akan banyak berhimpit dengan pemakaian bahasa. Karena cara pemakaian bahasa merupakan termasuk metode dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam bagian ini sengaja di pisahkan agar tidak terjadi ketumpang tindihan, agar lebih memberi penekanan dalam hal penggunaan bahasa. Metode termasuk bagian pendekatan, sebuah pendekatan bisa memiliki lebih dari dari satu metode, demikian juga metode bisa memiliki atau memakai lebih dari satu teknik penyampaian.Umpamanya sebuah pendekatan yang bersifat kdwibahasaan yakni memakai dua bahasa. Bisa juga seorang Pendharma Wacana sebaiknya menggunakan teknik dialogis. Bila konteknya dalam cerita di perankan oleh dua orang atau lebih pakai pula sebaiknya metode dramatis, metode ini lebih menghidupkan cerita dan pesan yang di sampaikan akan lebih berkesan dan lama di ingat pendengar. Teknik penyampaian fariatif tetap di usahakan agar para pendengar tidak jenuh.
            Juga tentang pembuktian harus berdasarkan fakta di lapangan untuk memperkuat informasi atau mantra dan sloka dalam pustaka suci, pada saat pembuktian dengan mantra atau sloka sebaiknya di kidungkan kalau bisa, paling tidak di sesuaikan dengan bacaan yang mendekati sumber aslinya. Teknik penyampaian dengan macapat, mawirama, makidung dengan pupuh sinom, pangkur, ginada, ginanti, wargasari, akan menambah keharmonisan dan kesegaran. Selingi juga dengan mukjizat yang pernah di dengar atau di alami, hal ini akan memberi selingan warna yang manis bagi dan cantik bagi pendengar.
            Dalam berbicara juga hendaknya pandangan mata di arahkan kepada tiap-tiap indipidu walaupun menghadap umum, tusukan mata tajam kepada yang kurang bersemangat, lemparkan pandangan prema kepada yang sendu, edarkanlah pandangan kesegala arah. Metode ini merupakan medium penyampaian yang tidak bisa di pandang sebelah mata, justru di sini letak keberhasilan Dharma Wacana, Isi Dharma Wacana lebih hidup, lebih memikat, lebih menggelitik apabila seorang Pendharma Wacana pandai meramu metode dan teknik dengan cara yang tepat dan jitu, misalnya dengan bernyanyi, mendelik, menuturkan cerita pendek, memberi ilustrasi dan sebagainya, bahasanya harus ringan, segar, enuh kias, dan memberi bukti yang nyata pada pendengarnya. Pada Metode dan teknik penyampaianlah bertumpu keberhasilan dan kualitas baik Dharma Wacana.
3.4 Situasi Kontekstual
         Pada umumnya situasi kontekstual (sikon) banyak tergantung pada partisifasi atau peserta baik PDW maupun pendengar, kadeng- kadeng peserta sendiri dapat mempengaruhi dan mencptakan sikon tertentu. Contoh sikon menjadi tenang karena wibawa PDW, atau menjadi rebut  karena Pendharma wacana dan pendengar. Tetapi sikon itu pada umumnya di luar kemampuan peserta karena fenomea alam, pagi, siang, sore, malam, bencana, listrik padam dan sebagainya. Oleh karena itu perlu di perhitungkan dengan baik oleh penyelenggara hal-hal yang berkenaan dengan sikon itu, yang kira-kira memang bisa diatasi dengan batas-batas tertentu, misalnya masalah waktu, bisa diatur.
IV. Persiapan Penyusunan Dan pementasan
Suatu Dharma Wacana (pidato) yang telah di persiapkan sebaik-baiknya pada hakekatnya telah merupakan 90% menjamin keberhasilan atau susksesnya seorang orator (pendharmawacana) dalam menyampaikan Dharma wacana di depan umum. Demikian Dale Carnegie seorang ahli bicara dan komunikasi memberiakan pendapatnya. Demikian juga Maecus Culius Cicero seorang Retorika bangsa Romawi menyatakan bahwa apabila kita berhadapan dengan audience tanpa persiapan atau dengan persiapan yang setengah-setengah, maka rasanya seperti berhadapan dengan audience dengan pakaian setengh-setengah pula. Demikian pentingnya arti persiapan itu dalam soal bicara di hadapan umum, bahkan di dalam segala persoalan. Sama halnya dengan seorang prajurit yang maju di medan pertempuran, tidak cukup bermodalkan semanagt dan keberanian saja, tetapi haruslah dengan suatu keterampilan teknis seperti kemahiran mempergunakan senjata, kecakapan melakukan penyergapan/ pengepungan. Demikianlah juga seorang pembicara di depan umum, haruslah melakukan persiapan yang matang sebelum ia naik mimbar menyampaikan dharma wacana tergantung dari kemampuan memberikan pengertian secara jelas, dapat menanamkan keyakinan/ kesepahaman serta menggerakannya sangatlah tergantung dengan persiapan yang kita lakukan.
4.1  Jenis-Jenis Persiapan
4.1.1        Persiapan Teknis penyampaian (Ilmiah)
            Seorang Orator atau Juru Dharma Wacana yang ulung dalam mempersiapkan pidato mempergunakan tingkat-tingkat persiapan teknis sebagai berikut:
1.        Iventio yaitu menemukan bahan, tema, judul dan materi dari suatu pidatodapat di peroleh melalui pemanfaatan kondisi yang hangat saat ini untuk di angkat sehingga sikap dari public dapat di bentuk di bimbing kearah yang di cita-citakan. Dapat juga dengan memenfatkan penyampaian intruksi dari suatu pemerintahan yang menyangkut kepentingan policy pemerintahan untuk kepentingan ketahanan Nasional. Di samping itu juga sebuah ide pembicara yang di lahirkan melalui melaui pengalaman dalam memimpin masyarakat bisa melahirkan sebuah ideuntuk di sampaikan kepada masyarakat.Setelah pokok soal itu tergambar maka melaluilah pembicara mencatat pikiran-pikiran pendapat-pendapat tanggapan-tanggapan yang berhubugan dengan masalah yang akan di kemukakan.
2.        Disposito, yaitu menyusun dan merangkaikan bahan. Segala buah pikiran dan tanggapan hasil penyelidikan dan penelitian di sortir lalu di susun di wujudkan menjadi sebuah Dharma Wacana. Dharma Wacana yang baik dan berhasil sampai kepada audience harus di rangkai dengan logis, artinya antara pendahuluan (exordium), bagian isi (Prohthesis), dan bagaian penutup (conclucio), harus serasi. Dalam menyusun dharma wacana, pendharmawcana bekerja secara analistis, yaitu dari soal yan kecil dan khusus meningkat kepada soal yang besar dan umum. Tetapi sebagai orator di depan podium seorang pendharma Wacana bekerja secara sintetis yaitu dari soal yang besar dan umum  yang kecil dan khusus, yang di ramu dalam bentuk kesimpulan dari petikan salah satu sloka Weda.
3.        Elocutio yaitu memilih style dan gaya bahasa sangat penting di perhatikan oleh seorang Pendharmawacana, karena pemilihan kosa kata yang sederhana dan mudah di pahami.
4.        Memoria, yaitu menanam dalam pikiran. Sesudah rangkaian pidato/ naskah Dharma wacana selesai di susun maka mulailah kita menanamkan isi dan garis-garis besar naskah dalam ingatan menjadi khayal (Abstraksi) tergambar dengan jelas isi bahan Dharma Wacana secara keseluruhannya tahap selanjutnya resapkannlah isi Dharma Wacana yang di tuangkan dalam naskah itu kedalam hati dan jiwa, sehingga apa yang di keluarkan dalam ceramah /dharma Wacana betul-betul keluar dari dalam jiwa kita. Konsep penanaman ini dapat di format melalui alur pikir:
Ilmu--------- Yakin---------Amal-----------Komunikasi 
5.        Pronunciatio, teknik penyampaian Dharma wacana. Berhasil tidaknya seluruh Dharma Wacana sangat di tentukan oleh verbal suggestion (kata-kata yang mengandung sugesti) Tetapi juga di tentukan juga oleh intonasi, tekanan suara dll. Teknik berpidato sangat menentukan keberhasilan pendharmawacana menyampaikan Dharma Wacana. Adapun teknik berpidato (ceramah) yang baik dengan memperhatikan beberapa hal diantaranya:
a.       Menghafal Ceramah di luar kepala.
Bila pendharmawacana ingin tampil ebagai orator tanpa teks, maka pendharmawacana menghapal secara garis besarnya, bisa juga di tuangkan dalam bentuk tulisan kecil. Bila terjadi applause (tepuk tangan) pikiran kita jangan terhenti, namun harus memikirkan kalimat atau masalah berikutnya.
b.      Membaca Teks Dharma Wacana. Hal ini di lakukan bila Pendharma Wacana tidak siap maka hendaknya harus diperhatikan bahwa sebagian harus hafal isi dharma wacana yang akan di sampaikan, hrup dicetak dengan huruf jelas.
4.1.2        Persiapan Psikis (Mental)
            Yang dimaksud di sini  sebagai persiapan  dari segi kejiwaan. Ini di anggap penting karena tidak mungkin hanya berbekalkan pemahaman secara ilmiah saja bisa tampil sempurna dalam berdharma wacana. Kurangnnya kematangan psikis si pendharma wacana merupakan kegagalan dalam berdharmawacana.
1.        Meningkatkan Sraddha dan bhakti. Ini sangat penting karena orang tingkat Sradha dan Bhaktinya cukup maka ia akan tidak pernah takut kepada siapapun. Ia hanya takut kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Seorang pendharma wacana bila berdiri di depan mimbar menghadapi audience, haruslah yakin dalam dirinya bahwa semua hadirin yang di hadapinya itu adalah manusia-manusia yang empati ingin menyerap apa yang ingin di sampaikan. Jadilah seperti matahari yang menerangi alam sekitar dan memang dirinya pun berkeadaan terang benderang.
2.        Auto Sugestie. Didalam penemuan ilmu jiwa ada satu nasehat yang baik untuk menghilangkan rasa takut dan rasa rendah diri (interiority complek), yang di namakan Auto Sugestie artinya sugesti yang timbul dari dalam diri kita sendiri. Hati nurani dan bathin kita endiri membisikan terus menerus, bahwa saya harus dapat dan bisa. Kalau si anu bisa, kenapa saya tidak?
3.        Para atheid. Yaitu kesiapan yang matang bagi si pendharmawacana untuk tampil di depan umum. Misalnya seorang prajurit tidak akan gentar bila terjun kemedan laga menghadapi musuh dan mendengar letusan meriam bila persiapannya telah matang.
4.1.3 Persiapan fhisik
Dalam pribahasa Yunani Kuno ada berbunyi Men Sana In Corporesanno dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat dan sehat pula, jadi pikiran yang sehat hanya ada pada tubuh yang sehat. Hakekatnya berbicara sebagai orator adalah menuangkan pikiran di depan umum dianggap berhasil bila penyampaiannya sistematis, logis dan rasional. Dengan demikian barulah pesan kita bisa di terima oleh seluruh pendengar kita. Dalam kondisi yang baik (good Condition) di tambah pemakaian busana yang rapid an sopan akan menambah suksesnya seorang orator pendharma wacana.
4.1.4 Persiapan Audient  
            Persiapan teknis, psikis dan phisik digolongkan kedalam persiapan subjektif. Dan persiapan audience disebut persiapan objective. Poin-poin persiapan obyektif adalah:
-       Tempat pelaksanaannya masalah waktu pelaksanaannya,
-       Perlengkapan dan peralatan yang di pergunakan.
Dari uraian tersebut timbul sebuah pertanyaan siapakah yang paling tepat untuk menjadi Orator/Pendaharmawacana? Setiap pribadi manusia memiliki potensi yang kuat untuk menjadi seorang orator/pendharma wacana, akan tetapi bila ditinjau dari dari segi fsikologis seorang orator Idealnya memiliki kedudukan dan kemampuan sebagai berikut:
-       Manusia pemikir dan pelaksana
-       Menguasai methode, teknik penyampaian yang baik
-       Giat menambah ilmu pengetahuan dan membina keterampilan
-       Integarasi dengan masyarakat
-       Siap mengadapi perubahan/ dinamis.
Demikianlah uraian singkat tentang teknik berdharma wacana ini semoga bermanfaat bagi kita semua,orang bijaksana senantiasa ingin meningkatkan diri demi kemajuan mental speritualnya. Misalnya jika ingin belajar bersabar, bisa belajar dari keledai yang buta huruf, juga belajar dari semut tentang kerjasama dan keramahannya dengan kawannya. Orang bijaksana juga belajar dari laba-laba tentang keuletannya memperbaiki sarangnya yang habis di tubruk kelelawar. Pada dasarnya berguru kepada alam dan semua mahluk. Alam semesta adalah universitas tertinggi, tempatnya untuk berguru. Jika ingin masuk menjadi  orang bijaksana, dan ingin meningkatkan diri sehingga dapat menjadi pendharmawacana yang baik maka kita harus dapat rendah hati dalam mengambil sesuatu yang bermanfaat dan membuang yang tidak bermanfaat sesuai dengan keadaan yamg kita alami. Jika kita semua bersikap layaknya orang yang bijaksana maka  yakinlah bahwa Weda akan berjaya lagi sebagai kebenaran yang abadi, semoga! 

NASKAH DHARMA WACANA


MEMBANGUN SIKAP PERCAYA DIRI:
Melalui Ajaran Catur Marga Yoga*
 
Badan Penyiaran Hindu Kep. Bangka Belitung
Semoga kami tidak takut pada kawan dan lawan,
lebih dari itu semoga kami tidak takut pada yang dikenal dan yang tidak dikenal. Pada waktu yang sama, semoga kami tidak takut dimalam hari dan disiang hari. Semoga semua arah bersahabat kepada kami. 
(Atarwa Weda XIX.15.6)
1.1.  Latar Belakang
Hidup di dunia ini memang tidak ada yang mulus/sempurna, harus di sadari, hidup adalah sengsara. Mengapa sengsara? ya karena sengsara ini adalah bagian dari keyakinan (sraddha) Hindu yaitu samsara. Tirai suka duka dalam hidup senantiasa datang silih berganti mewarnai dan menghiasi hidup manusia. Seperti dikatakan Prof. I Made Titib, jalan hidup manusia bisa diumpakan seperti pemain sky
air/peselancar air, dimana dalam permainannya selalu berurusan dengan gelombang air itu sendiri. Pada saat situasi kurang baik pemain sky air dihantam dan diterjang gelombang, disisi lain kalau kondisi baik dia akan menikmati permainan itu. Akan tetapi walaupun demikian pemain sky air tidak pernah menyerah, prustasi ataupun bersedih tatkala dihantam gelombang, tenggelam. Karena ia menyadari hakekat permainan sky air, begitu muncul dan tersenyum lagi. Demikian seharusnya kita menjalani hidup di dunia ini, setiap suka dan duka kita umpamakan proses pendewasaan diri untuk menuai kebahagian itu. Tidak ada orang sukses tanpa perjuangan. Kualitas personal manusia sendirilah yang menentukan kemampuannya dalam berjuang menghadapi suka duka dalam hidup, apabila perjuangannya berhasil ia adalah manusia digjaya.
Hidup adalah suatu perjuangan, perjuangan untuk mencapai kehidupan yang bahagia baik jasmani maupun rohani ataupun kebahagiaan material dan spiritual. Dalam usahanya untuk mencapai kebahagiaan itu tidaklah dapat berjalan mulus seperti yang diharapkan, bahkan banyak mengalami hambatan ataupun kegagalan. Hal ini ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor yang bersumber dari dalam dirinya sendiri (internal), misalnya rasa ragu dan canggung sikap yang kurang percaya diri sendiri dan sebagainya, begitu pula kegagalan itu dapat disebabkan oleh faktor dari luar dirinya (eksternal), misalnya faktor lingkungan dan budaya lain berkembang yang tidak bisa diadopsi dan diadaftasi, sehingga menyebabkan manusia lambat, dan tergilas untuk melangkah. Disamping lingkungan yang tidak didukung dalam praktek kegiatan keagamaan, atau rasa individualismenya sangat menonjol, baik antara sesama manusia maupun antara manusia dengan segala isi alam semesta lainnya, inilah salah satu penyakit di zaman global ini.
Sebagaimana diungkap di atas salah satu dari sekian banyak penghambat kemajuan hidup manusia dalam mewujudkan jagadhita di era sekarang adalah sikap kurang percaya diri atau lebih keren disebut kurang PD. Sikap kurang percaya diri atau tidak PD bagi umat Hindu disebabkan, karena kurangnya dipahami, dihayati serta diamalkannya pengetahuan tentang ajaran agama terutama yang menyangkut tentang Catur Marga Yoga secara mantap dan benar. Berbagai akibat ditimbulkan oleh kurangnya kepercayaan diri tersebut, seperti tidak berani berkompetisi, menjadi minder, menutup diri, akan muncul sifat egoisme, sifat individual, dan lain sebagainya, hal ini paling sering kita lihat dari kalangan generasi muda baik itu siswa maupun mahasiswa Hindu dan tokoh- tokoh masyarakat yang jarang mau menampilkan diri dalam situasi umum, apakah ini salah satu cerminan budaya koh ngomong orang bali?? Bisa ya bisa juga tidak karena itulah kenyataanya, bagaimana umat Hindu bisa maju, tatkala masih sibuk dengan sikap individualismenya masing-masing. Akan tetapi ada sebuah solusi  jalan atau cara untuk mengurangi ketidak percayaan diri tersebut adalah melalui pemahaman, penghayatan dan pengamalan tentang ajaran Catur Marga pada khususnya dan ajaran agama secara konperhensif secara mantap dan benar.
2.2 Catur Marga Sebagai Pembentuk Sikap Percaya Diri
2.2.1 Ciri-ciri Sikap Percaya Diri dan Pandangan Hindu Tentang PD
Berdasarkan konsepnya percaya diri adalah keyakinan oknum atau pribadi beserta sikap yang dimilikinya, bukan tergantung pada orang lain. Ini berarti bahwa seseorang itu telah memiliki kekhasannya sendiri yang hanya dimiliki sendiri yang sama sekali lain dari orang lain, Percaya diri berarti yakin mampu berbuat sesuatu yang terbaik untuk mencapai cita-cita. Sikap percaya diri adalah kecendrungan bertindak dengan keyakinan bulat akan berhasil dan meyakinkan tindakan itu dilaksanakan. Bertindak dengan keyakinan bulat bahwa apa yang dikerjakan yakin akan berhasil adalah suatu pertanda seseorang mempunyai rasa optimisme yang tinggi. Ini adalah suatu ciri dari seseorang yang percaya pada dirinya sendiri.
Ciri seseorang pada sikap PD ini adalah sikap bathinnya kembali mengarah ke dalam (individu) mulai percaya pada dirinya sendiri. Maksudnya, jiwanya adalah tidak mudah terpengaruh namun pengaruh itu tidak akan diterimanya begitu saja, melainkan dipilih seleksi, manakah kiranya dapat meningkatkan kemampuannya sebagai invidivu maupun sebagai anggota masyarakat. Itulah yang diterimanya dan pengaruh itu adalah tanggung jawabnya sendiri Berdasarkan pendapat tersebut bahwa ciri-ciri sikap percaya diri adalah yakin, merasa mampu dan optimis akan berhasilnya sesuatu yang dikerjakan, serta sulit menerima pengaruh dari orang lain.
Tentang bagaimana seharusnya pengembangan kepercayaan diri dalam ajaran Hindu itu sendiri. Ajaran kepercayaan diri tersebut di dalam  Weda disebutkan:
Abhayam mitrad abhayam amitrad
Abhayam jnatad abhayam puro yah
Abhayam naktam abhayam diwa nah
Sarwa asa mama mitram bhawantu (Atarwa Weda XIX.15.6)
Terjemahannya:
Semoga kami tidak takut pada kawan dan lawan, lebih dari itu semoga kami tidak takut pada yang dikenal dan yang tidak dikenal. Pada waktu yang sama, semoga kami tidak takut dimalam hari dan di siang hari. Semoga semua arah bersahabat kepada kami.
            Selanjutnya di dalam Yayur Weda juga dikatakan:
Ma bher ma samwikithah urjam dhatswa (Yayur Weda VI. 35)
Terjemahannya:
Wahai umat manusia, janganlah takut ataupun gentar, beranilah.
            Berdasarkan uraian mantra di atas memberikan sebuah pemahaman kepada umat manusia untuk dapat membangun kepercayaan diri didalam hidupnya, tidak takut kepada kawan mapun lawan maksudnya kepada orang banyak, baik yang dikenal mapun tidak dikenal, sehingga semua keinginan dapat terpenuhi, dan mempunyai harapan semoga senantiasa dapat mengembangkan jiwa kemitraan dan keramah tamahan kepada siapapun dalam hidup ini. Demikian juga dalam kitab Yayur Weda memberikan sebuah penegasan kepada seluruh umat manusia untuk tidak takut dan gentar dalam melangkah dalam mengarungi hidup ini, untuk menggapai cita-cita. Tuhan Yang Maha Esa hanya menyayangi orang-orang yang suka bekerja keras dan berani serta tegar menjalani kehidupan ini.
Demikian halnya dalam kitab Slokantara, sloka 10 di sebutkan bahwa:
            Suwarma puspam prthivim bhujanti catwaro narah
            Upayajnacca curacca krtavidyah priyamvadah
Terjemahannya:
Bahwa orang yang menikmati kebahagiaan hidup adalah orang yang tau tujuan hidup, orang yang berani atau percaya diri (cura), orang yang bijaksana,(krtawidya) dan orang yang pandai (upayajna).
Untaian sloka Slokantara juga memberikan gambaran bahwa salah satu orang yang dikatakan menikmati hidup di dunia ini adalah orang yang berani (cura/atau memiliki kepercayaan diri). Dengan memiliki kepercayaan diri seseorang akan dapat mencapai apa yang dicita-citakannya. Setelah mencapai tujuan seseorang akan menikmati kebahagiaan (ananda). Demikian pentingnya memilki kepercayaan diri dalam hidup ini.
2.2.2 Membangun Kepercayaan diri dengan Catur Marga
Ajaran catur marga dalam pelaksanaannya pada kehidupan sehari-hari, selalu disesuaikan dengan kepribadian, watak, kesanggupan dan bakat manusia masing-masing, berarti masing-masing orang memiliki kebebasan dalam menempuh jalan hidupnya, kebebasan disini maksud kebebasan untuk memilih jalan yang ada namun tetap mentaati aturan-aturan yang ada. Atas dasar kebebasan untuk melaksanakan ajaran catur marga ini sikap percaya diri umat Hindu dapat dibentuk.
Diantara semua makluk hidup hanya dilahirkan sebagai manusia saja yang dapat berbuat baik dan buruk, kemampuan melebur perbuatan buruk kedalam perbuatan baik demikianlah pahalanya menjadi manusia. Pikiran dalam hal ini sangat penting, karena pikiran bisa membedakan baik dan buruk, karena pikiran manusia bisa melakukan pembaharuan sehingga bisa memiliki budaya, sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Jadi kebebasan untuk menggunakan pikiran untuk menciptakan, dan menggunakan sarana dalam menghubungkan diri kepada Tuhan akan bisa sendiri (jnana marga), agama Hindu mengajarkan agar setiap orang bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing, jangan iri hati kepada orang lain ini berarti dituntut dalam bekerja (karma marga) untuk tidak selalu menggantungkan diri kepada orang lain agar dapat hidup mandiri dan dengan hidup mandiri maka sikap percaya pada diri sendiri dapat terbentuk, demikian halnya manusia sungguh-sungguh melakukan aktifitas apapun sebagai bentuk bhakti (bhakti marga), dengan dasar tidak terikat dan dapat mengendalikan diri (raja marga). Tetapi banyak hambatan pikiran yang muncul setelah mencoba melaksanakan tugas sesuai dengan petunjuk kerja. Perasaan kecewa, marah, putus asa dan sia-sia selalu menghantui pikiran. Setelah melihat dunia ini maka perlu disadari apa sebenarnya dunia ini dan bagaimana bersikap, agar bisa tetap maju tetapi tidak mengalami keragu-raguan maupun kekecewaan. Dalam kitab Bhagawadgita Sri Krisna bersabda tidak dapat lagi diragukan Oh Arjuna, pikiran itu berubah-ubah, sukar ditaklukkan, tetapi dia dikendalikan wahai Arjuna dengan membiasakan diri (abhayasa) dan meniadakan keinginan (Wairagya) dapat dicapai.
Atas dasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ajaran Catur Marga dengan memberikan kebebasan pada setiap manusia untuk melaksanakannya atau disesuaikan dengan kepribadian, bakat, minat, watak, kesanggupan diri seseorang akan dapat membentuk sikap percaya diri umat Hindu.
2.2.3 Peranan Catur Marga Dalam Membentuk Sikap Percaya Diri
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan percaya diri adalah keyakinan oknum atau pribadi beserta sikap yang dimilikinya bukan tergantung pada diri orang lain. Percaya diri adalah suatu keyakinan bulat akan berhasilnya atau tindakan itu dilaksanakan atau mampu berbuat sesuatu, disertai pengertian yang mendalam akan situasi yang dihadapi tanpa tergantung pada diri orang lain. Sikap percaya diri sangat menentukan dalam mencapai tujuan, cita-cita, harapan dan segala aktivitas yang kita lakukan, misalnya kegagalan seseorang mahasiswa dalam menghadapi test ulangan atau test ujian semesteran, bukan karena dirinya bodoh, kurang mempersiapkan diri atau IQ-nya rendah, tetapi hal itu bisa terjadi karena masih kurang percaya pada dirinya, akhirnya ia gagal. Apabila seseorang telah mampu mendidik membina dirinya sendiri berarti tanda keberhasilan dan kedewasaan seseorang. Tujuan utama pendidikan memang untuk melahirkan kemampuan pada seseorang untuk mampu mendidik dirinya sendiri.
Sebelum belajar setiap orang harus mempunyai keyakinan dapat mengikuti palajaran baik di sekolah maupun dalam membaca-baca buku karena semuanya telah dipersiapkan dengan baik. Sikap percaya diri sendiri, itu akan memperkuat konsentrasi belajar. Pada waktu menghadapi suatu ujian, test seseorang yang telah membekali diri, belajar dengan teratur harus dihadapi dengan kepercayaan pasti sukses. Keyakinan tersebut akan menghilangkan keragu-raguan dan sifat gugup. Sikap percaya pada diri sendiri dapat dipupuk dengan jalan tekun belajar, tidak ada mata pelajaran yang tidak dapat dipahami. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap percaya diri adalah kecendrungan bertindak dari seseorang dengan keyakinan bulat untuk mampu berbuat sesuatu, disertai dengan pengertian mandalam akan situasi yang dihadapi, tanpa tergantung pada diri orang lain.
Bila dihubungkan dengan konsepsi ajaran catur marga yoga, dapat diuraikan, mulai dari ajaran bhakti marga yaitu jalan, untuk menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) dengan mengutamakan penyerahan diri dan pencurahan rasa yang tulus untuk mencapai jagadhita dan moksa. Disamping itu juga ajaran bhakti marga dapat pula memberikan tuntunan kepada manusia dalam membentuk sikap percaya diri terutama yang menyangkut sikap percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ajaran ini memberikan keyakinan kuat kepada diri sendiri karena Tuhan akan selalu memberikan jalan terbaik selama dalam koridor Dharma. Seorang yang bhakti tidak memiliki sikap goyah terhadap apapun, karena bhakti dalam diri membuatnya bangkit untuk berbuat maksimal. Ajaran bhakti marga di samping merupakan jalan secara vertikal adalah sarana menghubungkan diri kepada Tuhan untuk mencapai moksa, juga secara horizontal dapat membentuk kepribadian umat manusia yang positif dengan sesama, misal sikap percaya diri, sikap tidak sombong, takabur dan sikap tidak angkuh.
Selanjutnya dengan ilmu pengetahuan atau melalui ajaran jnana marga seseorang dapat mengusir kegelapan pada dirinya. Dengan pengetahuan pula segala hakekat hidup dan kehidupan dapat dimengerti dengan baik. Atas dasar ilmu pengetahuan manusia memiliki pandangan yang luas, yang dapat dipergunakan sebagai obor penerangan didalam hidupnya. Jadi dengan ajaran jnana marga manusia bisa mengembangkan sikap kepribadiannya kearah yang positif yaitu sikap percaya terhadap dirinya sendiri dan sikap percaya pada orang lain. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh dua hal yaitu faktor pembawaan yang merupakan karakter atau guna seseorang yang dibawa sejak lahir dan faktor lingkungan termasuk pendidikan, budaya dan pengalaman yang dialami sesudah lahir.
Melalui pikiran menjadi sebuah motivasi dari kerja menentukan hasil suka dan duka dalam karma. Sebab berpikir saja sudah melahirkan karsa, lebih-lebih kalau buah pikirannya itu dituangkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan maka sempurnalah karma itu atau sempurnalah karma yang dibuatnya. Supaya hidup kita yang singkat ini tidak sia-sia dan banyak waktu tidak dapat dimanfaatkan, maka bekerjalah dengan giat, sebab berbuat lebih baik daripada tidak berbuat apa-apa. Jangan takut keliru atau salah, asal jangan sengaja berbuat kesalahan. Kekeliruan dan kesalahan akan memberikan hikmah, kesalahan adalah guru bagi kita, kalau orang tidak berani mencoba karena takut salah, tidak bedanya seperti anak kecil yang takut mencoba untuk berjalan karena khawatir akan jatuh akibatnya selamanya dia tidak akan bisa berjalan. Sebab itu jangan takut coba terus, biar jatuh pada akhirnya si anak akab berlari sendiri. Kesalahan dan kegagalan merupakan cemeti bagi orang yang optimis untuk maju. Karma baik yang disertai dengan keikhlasan berkorban untuk orang lain ataupun Tuhan disebut yadnya, dalam yadnya terkandung suatu pengertian kesengajaan berkorban untuk kebaikan orang lain, dengan pengorbanan kepentingan dan kesenangan pribadi demi mengenangkan orang lain.
Membiasakan diri hidup sederhana, maka kepuasan dan kebahagiaan itu akan mudah diperolehnya. Demikianlah kalau orang biasa tidur beralaskan tikar, sekali mendapatkan kebahagiaan dan besoknya kalau dia kembali tidur di atas tikar lagi dia tidak akan menderita karena sudah biasa. Sebaliknya orang yang biasa hidup mewah dan tidur di atas kasur yang empuk untuk mendapatkan kepuasannya dia harus membayar lebih banyak lagi untuk menghias tempat tidurnya, tetapi jika pada suatu saat terjadi perang dan dia terpaksa harus mengungsi ke hutan atau ke desa, dimana dia tidak mendapatkan kasur yang empuk, dia akan menderita dan tidak bisa tidur semalam suntuk. Ajaran raja marga adalah merupakan suatu jalan, cara atau usaha untuk mencapai kebebasan tertinggi yaitu jagadhita dan moksa yang berdasarkan atas latihan-latihan atau pengendalian pikiran yang baik dan berkelanjutan, dengan dasar dapat mengendalikan diri terhadap hal-hal negatif dalam diri menjadikan manusia bersahaja, tenang, simpati, untuk hadir percaya diri, terhadap situasi apapun.
2.2.4 Catur Marga Membina Sikap Percaya Diri
Manusia mempunyai kelengkapan yang paling sempurna diantara mahluk ciptaan Tuhan, yang dalam agama Hindu disebut dengan tri pramana terdiri dari bayu, sabda, idep atau kemampuan untuk bergerak, bersuara dan berpikir. Walaupun demikian manusia itu belum tentu bisa mengarahkan pikirannya dengan baik dan belum mampu pula untuk selalu mempunyai sikap percaya pada dirinya sendiri. Maka dari itu pembinaan dengan melaksanakan ajaran agama pada umumnya dan melalui ajaran catur marga pada khususnya dengan baik, benar dan mantap.
Akal yang hebat dan rasa yang kuat akan sangat berguna kalau dapat diarahkan kesuatu tujuan yang baik sebab itu diperlukan konsentrasi supaya jangan menyimpang dari arah (raja marga). Kalau akal dan rasa sudah seimbang, arah sudah terpusat maka orang akan dapat mencapai prestasi yang sangat tinggi. Prestasi yang tinggi kalau digunakan untuk kepentingan diri sendiri akan membahayakan, sebab itu perlu kehebatan yang dimiliki oleh manusia itu diabaikan untuk kepentingan orang banyak (karma marga). Demikianlah akal dan rasa dipadukan secara seimbang, tidak kuat dan terdalihkan serta terarah digerakkan untuk mengabdi. Dengan adanya unsur kebebasan pada tiap-tiap orang, untuk memilih jalan (marga), untuk menghubungkan diri kepada Tuhan, maka rasa percaya atau sikap percaya diri umat Hindu dapat terbentuk. Dengan akal yang cerdas, budi yang tinggi seorang pemikir akan meguak rahasia-rahasia alam, memisahkan benar dan salah, memberikan cara-cara yang tepat dan benar bagaimana melaksanakannya, sehingga hidup itu terjadi mudah dan tujuan tidak menyimpang. nama dan tinjauan dari sudut yang berbeda terhadap satu yang sama.
Dalam bhakti marga doa adalah merupakan bagian yang sangat penting karena doa adalah merupakan cetusan perasaan. Dengan doa, orang menyerahkan diri kepada Tuhan dengan mantap dan dapat membentuk sikap percaya diri yang mantap pula.Tuhan mendengarkan orang yang sungguh-sungguh. Beliau datang dan memberikan kepercayaan padanya. Begitulah orang yang berdoa memanggil Tuhan dia menjadi berani menghadapi dunia yang penuh dengan rahasia ini karena dia percaya Tuhan akan melindungi dan membimbingnya. Kepercayaan adalah faktor mutlak untuk membangkitkan keberanian, dan dengan keberanian orang tidak akan ragu-ragu untuk berbuat. Dengan apa orang akan mendapatkan rasa aman dan tabah, tenang dan terlindung dari bahaya dan penderitaan. Jnana marga menyerukan:”Bangunlah dan sadarlah, sudah lama kita tertidur lelap, hapuslah belenggu maya ini dengan sinar pengetahuan. Pada hakekatnya manusia tahu. Kesadaran akan hakekat diri adalah sangat penting, karena hal itu merupakan modal pertama untuk bangkit menuju Tuhan jangan larut dalam kepasrahan, karena semua itu hanyalah maya, tetaplah tegak jangan goyah, seperti langit yang tetap biru, biarlah awan lewat silih berganti, karena apa yang ada dia selalu datang dan pergi semuanya bersifat sementara. Dengan pengetahuan hakekat dirinya melalui kesadaran pengetahuannya, maka manusia akan lebih percaya terhadap dirinya sendiri.
2.3 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa, percaya diri adalah sikap keyakinan dalam diri untuk mampu mengerjakan atau melaksanakan sesuatu dengan baik tanpa harus tergantung kepada orang lain. Salah satu ajaran Hindu yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kepercayaan diri tersebut adalah Catur Marga. Catur Marga Yoga adalah empat jalan, cara atau usaha untuk menghubungkan diri kepada Hyang Widhi guna mencapai tujuan hidup moksartham jagadhita. Catur Marga terdiri dari bhakti marga, karma marga, jnana marga dan raja marga. Dimana bhakti marga mengutamakan penyerahan diri dan pencurahan rasa, karma marga mengutamakan kerja tanpa pamerih untuk kepentingan diri sendiri, jnana marga mengutamakan akal yang membangkitkan kesadaran dan raja marga mengajarkan pengendalian diri dan konsentrasi. Ajaran catur marga merupakan ajaran yang sangat penting untuk membina sikap percaya diri. Hal ini disebabkan unsur-unsur dari ajarannya senantiasa mengarahkan umat Hindu agar termotivasi untuk selalu bersikap penuh percaya diri. Dengan sikap penuh percaya diri maka segala pekerjaan dapat dirampungkansehingga terwujud kehidupan jagadhita.
 
NB: Dikutip dari berbagai sumber

SAD DHARMA - Metode Penyiaran Badan Penyiaran Hindu Bangka Belitung

Sad Dharma merupakan enam dharma atau kewajiban umat Hindu yang terdiri dari :
  1. Dharma Wacana, ceramah agama.
  2. Dharma Tula, tanya jawab agama.
  3. Dharma Gita, nyanyian agama.
  4. Dharma Sadhana, merealisasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Dharma Santi, pertemuan untuk saling memaafkan kesalahan masing-masing serta                               berjanji untuk tidak membuat  kesalahan lagi dikemudian hari.
  6. Dharma Yatra (bepergian/perjalanan agama).
Dalam ajaran Hindu strategi pembinaan umat oleh PHDI, dilakukan dengan menerapkan yang namanya Sad Dharma yaitu, yaitu enam strategi atau cara dalam meningkatkan sraddha (iman) dan bhakti (taqwa) kepada masyaraka Hindu, yang meliputi: Dharma Wacana (kotbah), Dharma Tula (Diskusi Agama), Dharma Gita (Zikir), Dharma Sadhana (Pengabdian yang tulus), Dharma Yatra (mengunjungi tempat Suci) dan Dharma Santhi (Saling memaafkan). Bagian Sad Dharma ini pula yang dikembangkan oleh para tokoh umat terlebih dalam melaksanakan penyiaran Agama. Penyiaran Agama khususnya di Bangka Belitung telah pula dilakukan. Adapun bagian Sad Dharma yang dikembangkan dalam bentuk penyiaran tersebut diuraikan di bawah ini dalam mewujudkan harmoni kehidupan yaitu:
1.        Dharma Wacana
Istilah Dharma Wacana dalam bahasa kesehariannya adalah ceramah atau kutnah, dimaksudkan sebagai metode penyiaran Agama Hindu yang diberikan secara umum kepada umat Hindu sesuai dengan sifat, tema, bentuk jenis kegiatan keagamaan berasarkan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan dharma agama dan dharma Negara. Materi Dharma Wacana disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan ke dalam Sruti, Smerti, Purana, Itihasa dan Sang Sistha. Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan dengan thema dan jenis kegiatan itu.
            Metode penyiaran ini paling banyak dilakukan, disamping untuk kepentingan internal dalam meningkatkan sraddha dan bhakti umat Hindu, juga secara ekstrnal adalah untuk saling memahami tentang agama lain, sehingga tumbuh sikap toleransi dan terwujudnya kehidupan harmoni sesama umat. Kenyataan selama ini yang sering terjadi bahwasannya sifat exslusif ada dalam diri, yang hanya melihat kebenaran ada pada diri sendiri, dan tidak ada pada orang lain, demikian juga tentang keyakinan yang dianut, terkadang kita hanya mengatakan bahwa keyakinan kita yang paling baik dan paling benar, keyakinan orang lain itu salah atau keliru, sehingga sering terjadi pelecehan dan penistaan agama orang lain, baik yang secara sengaja maupun dilakukan secara halus. Kalau hal tersebut dilakukan tentu kehidupan harmoni tidak akan terjadi antar umat beragama. Hal ini tentulah sangat keliru, karena semua agama bersumber darin-Nya, goal sama, akan tetapi hanya kemasannya yang berbeda.
            Di Provinsi Kep. Bangka Belitung, majelis tertinggi Agama Hindu, telah melakukan kegiatan penyiaran ini, baik melalui TVRI Bangka, maupun TAM TV, disamping melaksanakan pembinaan secara door to door kepada lapisan umat Hindu yang ada di wilayah Kep. Bangka Belitung.
2.        Dharmagita
Dharma Gita artinya metode penyiaran dalam bentuk nyanyian keagamaan, secara tradisional telah dilaksanakan di Sulawesi Tenggara, bahkan pernah menjadi event kegiatan ini yaitu Utsawa Dharmagita X Tingkat Nasional tahun 2008. Kegiatan ini bagi masyarakat etnis Bali disebut makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Dalam usaha untuk mempelajari kitab-kitab suci seperti Veda, pembacaan-pembacaan Veda dapat dinyanyikan. Bahkan usaha untuk menyusun atau mengarang lagu-lagu keagamaan sebagai persembahan atau gitanjali perlu digalakkan dikalangan seniman. Dharmagita sebagai strategi penyiaran untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa dalam bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengar-nya. Usaha untuk melestarikan, mengembangkan dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan. Disamping itu melalui dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan. Sumber materi untuk Dharma Gita diambil dari kitab-kitab suci agama Hindu maupun sastra-sastra keagamaan lainnya yang dirangkaikan dalam bentuk geguritan, kidung, kakwin, dan mamutru. Untuk pengembangan lebih jauh perlu ditampilkan karya-karya baru yang berthemakan ajaran agama Hindu. Pengembangan materi dalam kreasi baru ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperkaya dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Materi Dharma Gita diambil langsung dari kitab suci serta sastra-sastra keagamaan umumnya mempergunakan bahsa sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Untuk mencapai sasaran/tujuannya perlu diberikan terjemahan yang mempergunakan bahasa yang mudah, seperti bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat. Demikian pula kreasi-kreasi Dharma Gita yang baru tetap membawakan pesan dan thema keagamaan, pemakaian bahasa daerah tidaklah merupakan hambatan bahkan justru sangat diharapkan untuk menumbuhkan rasa ikut meiliki dan ikut bertanggung jawab.
            Metode penyiaran dengan dharma gita ini di Hindu sangat efektif, dalam agama Islam Dharma Gita atau melantunkan kidung suci hampir mirip dengan kegiatan zikir, hal ini tentu juga bertujuan meningkatkan pemahaman umat tentang ajaran agama yang dikemas dengan budaya local, sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Umat Hindu di Indonesia, dan secara khusus di Kep. Bangka Belitung, dalam pembinaan kegiatan Dharma Gita ini di ayomi oleh sebuah lembaga yang memang diperuntukan untuk itu, yaitu LPDG atau Lembaga Pengembangan Dharmagita, yang ketuanya adalah Pembimas Hindu, dan ini juga bukan saja di bentuk di tingkat Provinsi, akan tetapi juga di tingkat Kabupaten/ Kecamatan/ Desa dan Kelurahan.
            Kalau masing-masing umat lain memahami ini, maka kehidupan harmoni akan dapat terwujud, di Kep. Bangka Belitung. Mari kita setiap saat dapat menyanyikan lagu suci, nama-nama suci Tuhan setiap saat, sehingga jiwa kita tercerahi, sehingga kita selalu di tuntun kearah jalan yang benar, dijauhkan dari jalan yang sesat. (Om Asato Ma Sad Gamaya, Tamaso Ma Jyotir Ga Ma Ya).
3.        Dharma Tula
Metode Penyiaran lainnya adalah Dharma Tula, Kata tula berasal dari bahasa sansekerta artinya perimbangan, keserupaan, dan bertimbang. Secara harpiah dharma tula dapat diartikan dengan bertimbang, berdiskusi atau berembug atau temu wicara tentang ajaran agama Hindu dan Dharma dan tentu pula bisa dilakukan antar umat beragama untuk sebuah studi perbandingan Agama. Dalam pelaksanaan dharma Tula ini member kesempatan kepada para peserta diskusi untuk menyampaikan apa yang menjadi permasalahan dalam kehidupan beragamanya, Dharma Tula ini diadakan secara mandiri melibatkan semua potensi terutama generasi muda, menampilkan topik tertentu untuk kemudian dibahas bersama atau dalam kelompok yang ada.
 Dharma Tula dimaksudkan sebagai metoda Penyiaran guna pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui peningkatan peran serta yang aktif dari semua peserta. Kegiatan dharma tula sesuai dengan tingkat umur remaja dan dewasa. Oleh karena itu melalui methoda ini setiap peserta akan memperoleh kesempatan mengemukankan pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari orang lain yang akan menambah pengetahuannya dibidang agama Hindu dengan dilandasi sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan. Cara serupa ini sangat cocok untuk pendidikan orang dewasa yang dikenal dengan sistem "andragogi". Tujuan lebih jauh adalah dharma tula itu diharapkan tumbuh dan berkembang persepsi baru tentang ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi, sehingga agama akan selalu dapat berperan dikehidupan manusia disepanjang jamani. Materi dharma tula akan sangat baik apabila dapat diambil diketengahkan dari jenis materi yang sesuai dengan tingkat pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang akan membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat diketengahkan materi ajaran agama Hindu yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan remaja (kepemudaan). Dengan demikian metoda dharma tula akan dharapkan mencapai titik kulminasi/sasaran. Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan kegiatan menyambut/merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu banyak menyita waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya persembahyangan bersama atau pada harihari libur yang khusus dimanfaatkan untuk itu.
            Media penyiaran yang akrab dengan metoda dharma tula ini akan semakin membuka wawasan tentang agama, peserta dharma tula akan diajak untuk membuka cakra wala berpikirnya, sehingga apa yang menjadi permasalahannya selama ini dapat terjawab, tentu yang dapat memberiakan dharma tula ini adalah orang-orang yang memahami tentang agama. Demikian halnya Dharma Tula ini, bukan saja untuk intrn umat akan tetapi diskusi dalam lintas agama sangat baik untuk dilakukan, sehingga antara tokoh agama yang satu, dengan yang lain saling memahami, sehingga tidak terjadi lagi praduga yang negative terhadap agama  lain, sehingga hidup harmoni, saling berdampingan dapat diwujudkan.
4.             Dharma Santhi
Yang terakhir adalah metoda Penyiaran dengan Dharma Santi, yaitu adalah suatu ajaran untuk mewujudkan perdamaian diantara sesama umat manusia bahkan dengan antar umat beragama yang lain. Acara Dharma Shanti ini dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan situasi dan relevansinya dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Kegiatan Dharma Shanti bertujuan untuk saling maaf memaafkan dengan hati dan pikiran yang suci serta ucapan yang tulus iklas. masing-masing pihak secara sadar dan dengan segala keter-bukaan serta kejernihan hati menghapuskan kekilafan dan kealpaan diantara sesama kita.
Metoda penyiaran dengan bentuk Dharma Shanti selama ini di Kep. Bangka Belitung telah dilakukan baik di tingkat Provinsi Kabupaten/Kota, Kecamatan, bahkan Desa/ Kleurahan, yang kegiatannya dilaksanakan menyambut Tahun Baru Shaka (hari Raya Nyepi) pada bulan chaitra yang pelaksanaannya dilaksanakan setiap setahun sekali, dengan mengundang berbagai eleman, seperti para Majelis masing-masing agama, tokoh agama, pejabat pemerintah daerah, yang tentunya melibatkan seluruh lapisan masyarakat Hindu. Kegiatan penyiaran dalam bentuk ini, sangat efektif untuk dalam menjalin rasa kekeluargaan, kebersamaan menghargai fluralitas, merangkai perbedaan untuk saling memahami antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain.

NB: Diadopsi dari berbagai sumber